Selasa, 03 Desember 2013

SEJARAH CANDI MENDUT


BAB I
PENDAHULUAN

       Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kedu setelah Borobudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur. Candi Mendut merupakan pintu masuk ke tiga serangkai candi ini, terletak di pertemuan dua sungai penting yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo. Berlawanan dengan candi-candi lain yang umumnya menghadap ke timur, jalan masuk Candi Mendut menghadap ke arah barat. Mungkin berhubungan dengan harapan pembangun candi agar menerima wahyu sebagaimana sang Buddha di arah barat di Taman Rusa di Benares. Candi Mendut, menurut ahli prasasti, disebutkan dalam prasasti-Karangtengah (dekat Temanggung) dengan nama Venu Vana Mandira yang artinya candi di tengah rumpun bambu. Candi Mendut memiliki panjang 13,7 meter dan lebar 13,7 meter, sedangkan tingginya 26,5 meter. Candi ini  ditemukan pada tahun 1834 oleh para seradu Belanda, dan direstorasi pada tahun 1897-1904. Para ahli menduga Candi Mendut didirikan pada tahun 784-792 Masehi oleh Raja Indra, ayah Raja Samaratungga. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Candi Mendut didirikan oleh Raja Samaratungga sendiri yang beragama Buddha dibantu oleh bawahannya Rakai Garut yang beragama Hindu sebagai perlambang bagus dan harmonisnya hubungan antar agama pada masa itu di kalangan masyarakat Jawa Kuno. Sewaktu candi ini dipugar, ditemukan bahwa Candi Mendut dibangun di atas candi lain peninggalan agama Hindu. Casparis menduga Candi Mendut dibangun untuk memuliakan leluhur raja-raja Syailendra. Pendapat lain mengatakan bahwa Candi Mendut dibangun untuk mengenang kotbah pertama Sang Buddha di Taman Rusa di Benares.










A.    Latar Belakang Masalah

1.      Bagaimana Setruktur Bangunan Dari Candi Mendut ?
2.      Arti Ukiran Atau Relief Candi Mendut?
3.      Tiga Penemuan Arca Di Candi Mendut?


B.     Metode kajian yang di gunakan

Metode kajian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian “grounded research”.













BAB II
PEMBAHASAN


1.      Setruktur Bangunan Dari Candi Mendut
       Candi Mendut memiliki denah dasar berbentuk segi empat. Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m. Tubuh candi ini berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Di permukaan batur terdapat selasar yang cukup lebar dan dilengkapi dengan langkan. Dinding kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah. Di beberapa tempat di sepanjang dinding luar langkan terdapat jaladwara atau saluran untuk membuang air dari selasar. Jaladwara terdapat di kebanyakan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, seperti di Candi Barabudhur, Candi Banyuniba, Candi Prambanan dan di Situs Ratu Boko. Jaladwara di setiap candi memiliki bentuk yang berbeda-beda. Tangga menuju selasar terletak di sisi barat, tepat di depan pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil yang menjorok keluar. Atap bilik penampil sama tinggi dan menyatu dengan atap tubuh candi. Tidak terdapat gapura atau bingkai pintu pada dinding depan bilik penampil. Bilik itu sendiri berbentuk lorong dengan langit-langit berbentuk rongga memanjang dengan penampang segi tiga. Dinding pipi tangga dihiasi dengan beberapa panil berpahat yang menggambarkan berbagai cerita. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan sepasang kepala naga yang mulutnya sedang menganga lebar, sementara di dalam mulutnya terdapat seekor binatang yang mirip singa. Di bawah kepala naga terdapat panil begambar makhluk kerdil mirip Gana. Atap candi itu terdiri dari tiga kubus yang disusun makin ke atas makin kecil, mirip atap candi-candi di Komplek Candi Dieng dan Gedongsongo. Di sekeliling kubus-kubus tersebut dihiasi dengan 48 stupa kecil. Puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya.  Atap candi berbentuk piramid, dengan batu pengancing di tengahnya, semua batu atap bertumpu pada batu pengancing ini. Ukiran timbul atau relief yang ada di dinding sebelah timur candi melukiskan Bodhisatwa (Mansjuri dan Samanthabadra) yang dikenal oleh payung yang dibawanya. Di dinding selatan dilukiskan Dewi Tara keluar dari teratai di sebuah kolam yang airnya berasal dari air mata Avalokiteswara, yang duduk di atas padmasana, meneteskan air mata melihat penderitaan umat manusia. Di dinding belakang candi dilukiskan Avalokiteswara dan Kagarba yang membawa pedang. Ukiran raja-raja yang mengapit mereka merupakan raja-raja dinasti Syailendra. Sedangkan di dinding sebelah utara tampak ukiran timbul Dewi Tara, sebagai Sakti Buddha.




2.      Arti relief dari Candi Mendut

       Ukiran timbul lainnya diambil dari Kitab Jataka, mengisahkan Cerita Tantri dari dunia hewan. Salah satunya menggambarkan seekor monyet yang harus menipu para buaya supaya dirinya selamat. Para buaya ingin makan hati monyet dan monyet tersebut mengatakan bahwa hatinya ada di pohon mangga berupa buah mangga sehingga si buaya membawa monyet ke pohon mangga untuk mengambil hatinya dan monyetpun selamat dari terkaman buaya. Di dinding sisi utara pada tangga terdapat ukiran timbul kisah kepiting dan brahmana, di mana suatu kali seorang brahmana menyelamatkan seekor kepiting dan di kelak kemudian harinya si kepiting membalas budi sang brahmana dengan menyelamatkan dia dari gigitan ular berbisa.
       Ukiran lainnya mengisahkan kisah angsa dan kura-kura, yang memberi pelajaran kepada kita bahwa diam itu emas, sedangkan banyak mulut terkadang membawa malapetaka, sebagaimana kisah angsa dan kura-kura di dinding candi. Pada suatu ketika, kolam air yang menjadi kediaman sepasang kura-kura kering oleh musim kemarau panjang sehingga kura-kura suami istri berpikir-pikir untuk pindah tempat tinggal. Sahabatnya sepasang angsa bersedia menolong mereka pindah ke kolam lain yang dalam airnya. Untuk mengangkut sepasang kura-kura sahabatnya itu, sepasang angsa membawa sebatang kayu dan masing masing menggigit ujung kayu tersebut dengan paruhnya. Kura-kura suami istri menggigit kayu di tengah-tengah sehingga angsa dapat membawa mereka terbang dengan selamat sampai di tujuan. Sebelum memulai perjalanan, angsa suami istri sudah memberi peringatan supaya apapun yang terjadi, sepasang kura-kura tersebut harus diam tidak boleh bersuara sebab bila mereka membuka mulut, mereka akan jatuh dan mati. Demikianlah, mereka terbang dengan selamat sampai di suatu tempat di mana berdiam banyak anjing liar. Anjing-anjing tersebut melihat kura-kura dan angsa yang sedang terbang dan salah seekor anjing bertanya kepada temannya, He, kawan. Lihat, angsa-angsa itu terbang membawa sesuatu. Apa ya yang dibawanya. Teman-temannya tahu bahwa yang dibawanya itu kura-kura, namun dengan bercanda mereka menjawab, Ah. Paling-paling mereka membawa terbang tahi kebo.” Kura-kura suami istri marah dikatakan tahi kebo dan mereka menyahut,”He. Kami bukan tahi keboooo….” Dan saat itulah mereka jatuh menjadi mangsa anjing-anjing liar.
 
       Pada jalan masuk lainnya terdapat ukiran pohon kehidupan yaitu Kalpataru dan makhluk sorga berbadan burung namun berkepala manusia yang dinamakan Kinnara-Kinnari. Pada jalan masuk sebelah dalam di masing-masing dinding yang saling berhadapan terlihat ukiran Dewa Kekayaan, Dewa Kuwera dan istrinya yang dilukiskan sebagai Dewi Hariti, dan suaminya Alawika atau Atawaka atau Raksasa Pancika, yang memiliki banyak anak dan di bawahnya terdapat kendi-kendi penuh berisi uang sebagai lambang kekayaan. Kendi penuh berisi uang adalah salah satu atribut atau benda bawaan dewa kekayaan, Dewa Kuwera. Ini mungkin perlambang pepatah yang mengatakan banyak anak banyak rejeki. Menurut dongeng, pada mulanya kedua suami istri tersebut adalah raksasa atau yaksa pemakan anak-anak. Namun setelah mengenal ajaran Buddha, mereka berubah menjadi pelindung anak-anak. Di Bali, Hariti ini dikenal sebagai Men Brayut, Dewi Kesuburan.
Kisah Kura-kura Terbang
       Ada suatu gambar relief yang tampak agak ganjil dan lucu. Pada panil yang berukuran 1,5 x 0,75 meter dipahatkan seekor kura-kura yang sedang menggigit sepotong kayu, dan kayu itu dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara memegangi kedua ujungnya dengan cakar mereka. Sementara itu di bawahnya dilukiskan beberapa orang yang sedang berteriak-teriak dan dua ekor anjing yang sedang menengadahkan kepalanya ke atas mungkin sedang menggonggong. Di bagian lain, masih di dalam bingkai panil yang sama, tampak orang-orang dan anjing sedang memperebutkan kura-kura yang rupanya telah terjatuh ke tanah.
Cerita kura-kura terbang dipetik dari kitab Tantri Kamandaka, sebuah kitab fabel berbahasa Jawa Kuno. Ceritanya ringan menarik dan penuh amsal, perlambang, dan pendidikan. Ringkas ceritanya sebagai berikut.
        Di sebuah danau yang permai dan jernih airnya, tinggallah seekor kura-kura. Kura-kura itu bersahabat dengan dua ekor angsa laki bini bernama Cakrangga dan Cakranggi. Persahabatan mereka telah lama dibina. Suatu ketika di musim kemarau, saat air danau mulai berkurang, Cakrangga dan Cakranggi minta diri pada sahabatnya itu untuk mengungsi ke sebuah telaga di Gunung Himawan. Air di telaga itu tidak pernah kering walau pada musim kemarau sekali pun. Sekali ini kura-kura rupanya ingin turut mengungsi. Katanya: "Bawalah aku serta. Di sini aku akan sengsara karena kurang air." Masalahnya adalah bagaimana cara kedua angsa itu membawa si kura-kura. Akhirnya mereka mengusulkan agar kura-kura menggigit sepotong kayu dan kedua angsa itu akan mencengkeram kedua ujung kayu sambil terbang. Ada satu pesan dari angsa yang harus diingat dan ditaati kura-kura selama perjalanan nanti. "Kami akan membawa terbang dirimu, kura-kura, dan kamu harus memagut kuat-kuat batang kayu itu. Ingat, janganlah berbicara apa pun. Jika ada yang menegur janganlah dijawab," demikian pesan Cakrangga dan Cakranggi.
       Segeralah mereka terbang. Kura-kura merasa kagum pada keindahan alam yang dilihatnya dari atas. Tak terasa sampailah mereka di atas sebuah ladang yang bernama Wilanggala. Di ladang itu ada dua ekor anjing jantan dan betina yang sedang bermain. Ketika mereka menengadah, tampaklah sesuatu yang ganjil, yaitu seekor kura-kura yang bergelayutan pada sepotong kayu yang sedang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Maka berkatalah anjing betina: "Hai, lihatlah! Ada kura-kura dibawa terbang oleh dua ekor angsa!" Menjawablah si anjing jantan: "Aneh, ya! Tampaknya ada kura-kura tolol sedang belajar terbang pada angsa. Mungkin itu bukan kura-kura, tapi kotoran kerbau kering yang berisi cacing untuk makanan anak-anak angsa." Marahlah si kura-kura mendengar percakapan kedua anjing itu. Mulutnya mulai berdenyut-denyut menahan amarah. Karena gusarnya ia tidak ingat lagi pesan angsa sahabatnya. Ia ingin menjawab ejekan itu dan dibukalah mulutnya untuk berbicara. Akibatnya bisa diduga. Tubuh gemuk si kura-kura melayang jatuh berdebam di tanah. Kedua anjing itu segera melompat memburu si kura-kura. Keduanya makan besar menikmati daging kura-kura.
Kesimpulan kisah ini dalam kitab Tantri Kamandaka adalah demikian: "Mangkana puhara ning tan yatna ring warah maring rahayu, tan wruh kalinganya, mandeya ala, pisaningun ika masiha. Kewala ikang ujar ing mitra haywa gya-gya wawarengon." Artinya kira-kira demikian: "Demikianlah akhirnya jika tidak memperhatikan nasihat dari kawan baik, dan tidak memahami maksud yang tersirat. Hal itu akan membuat celaka. Dan perlu pula diingat jangan cepat-cepat menerima kata-kata orang begitu saja untuk ditanggapi."

3.      Tiga Penemuan Arca Di Candi Mendut


Di dalam Candi Mendut ditemukan tiga buah patung agama Buddha yang sangat besar ukurannya dan dalam keadaan masih bagus yaitu: Patung Buddha Sakyamuni setinggi 3 meter di tengah-tengah, yaitu Buddha yang pernah hidup di dunia, dengan posisi tangan (mudra) memutar roda dharma, sebagai perlambang kotbah Buddha yang pertama kalinya di Taman Rusa di Benares, dengan posisi kaki menggantung, tidak bersila seperti biasanya. Di sebelah kirinya adalah patung Mansjuri atau Vajrapani sebagai Buddha pembebas manusia di kelak kemudian hari. Menurut Jacques Dumarçay patung tersebut menggambarkan Lokesvara, Boddhisatva yang menolak menjadi Buddha bila tidak semua manusia diselamatkan. Sedangkan di sebelah kanannya adalah Avalokiteswara, Buddha penolong manusia, dengan tanda patung Amithaba di keningnya. Dekat Candi Mendut ini sekarang didirikan sebuah Vihara Buddha yang megah yang menjadi salah satu tempat ibadah penting bagi umat Buddha terlebih saat dirayakannya Hari Raya Waisak setiap tahunnya untuk memperingati tiga peristiwa paling penting dalam hidup Buddha Siddharta Gautama yaitu kelahirannya, saat Beliau mencapai pencerahan yaitu menjadi Buddha, dan saat wafatnya.













BAB III
KESIMPULAN

Bahwa candi Mendut merupakan salah satu candi yang bercorak Agama Buddha yang mengisahkan tentanga cerita-cerita tenta kehidupan hewan yang memberi contoh terhadap manusia di bumi dan juga membuka hati kepada manusia akan pentingnya melestarikan alam dan lingkungan sekitar, agar terciptanya perdamaian, kerukuan antara makluk hidup dengan manusia. Selain relief dalam candi mendut juga ada tiga patung Buddha yang memberikan cerminan bagi manusia yaitu salah satunya adalah : yaitu Buddha yang pernah hidup di dunia, dengan posisi tangan (mudra) memutar roda dharma, sebagai perlambang kotbah Buddha yang pertama kalinya di Taman Rusa di Benares, dengan posisi kaki menggantung, tidak bersila seperti biasanya. Di sebelah kirinya adalah patung Mansjuri atau Vajrapani sebagai Buddha pembebas manusia di kelak kemudian hari. Menurut Jacques Dumarçay patung tersebut menggambarkan Lokesvara, Boddhisatva yang menolak menjadi Buddha bila tidak semua manusia diselamatkan. Sedangkan di sebelah kanannya adalah Avalokiteswara, Buddha penolong manusia, dengan tanda patung Amithaba di keningnya. Dekat Candi Mendut ini sekarang didirikan sebuah Vihara Buddha yang megah yang menjadi salah satu tempat ibadah penting bagi umat Buddha terlebih saat dirayakannya Hari Raya Waisak setiap tahunnya untuk memperingati tiga peristiwa paling penting dalam hidup Buddha Siddharta Gautama yaitu kelahirannya, saat Beliau mencapai pencerahan yaitu menjadi Buddha, dan saat wafatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar